f Perlunya Pendekatan Beragam Untuk Arkeologi Publik - BERITA NUSANTARA

Senin, 13 Agustus 2012

Perlunya Pendekatan Beragam Untuk Arkeologi Publik

Dengan menerima definisi arkeologi publik yang sifatnya luas dan inklusif, dapat diasumsikan bahwa subjek ini dapat didekati dengan cara yang beragam. Apa kemudian pendekatan-pendekatan tersebut? Dengan menarik pembahasan pada cara-cara ilmu pengetahuan terhubung dengan masyarakat yang lebih luas, Merriman (2004a: 5-8) dan Holtorf (2007: 105-129) masing-masing menawarkan dua dan tiga model untuk menjelaskan bagaimana arkeologi terikat dengan publik umum. Mengulas secara singkat model-model ini akan bermanfaat karena pengaruhnya merepresentasikan pendekatan-pendekatan yang berbeda pada arkeologi publik.

 “Model defisit” Merrimen menyiratkan bahwa arkeolog seharusnya melibatkan diri dengan publik sehingga “lebih banyak masyarakat akan memahami apa yang sedang dicoba untuk dilakukan oleh para arkeolog, dan akan lebih mendukung kerja-kerja mereka” (Merriman 2004a: 5; lihat juga Grima 2009). Dalam model ini, pendidikan publik memainkan sebuah peran penting dalam memberikan informasi kepada publik mengenai cara-cara mereka dapat – dan pada tingkat tertentu harus – memberi apresiasi pada arkeologi. Apa yang disebut oleh Merriman sebagai “model perspektif beragam,” di sisi lain, menyiratkan bahwa arkeolog seharusnya berusaha melibatkan diri dengan publik untuk “mendorong realisasi diri guna memperkaya kehidupan masyarakat dan meransang refleksi dan kreatifitas mereka” yang bertujuan untuk mencapai realisasi yang lebih luas, ketimbang memaksa mereka “mengikuti sebuah agenda tunggal” (Merriman 2004a: 7).
Holtorf mengusulkan “model pendidikan,” “model hubungan-hubungan publik,” dan “model demokratis.” “Model pendidikan” yang diusulkannya menyatakan bahwa para arkeolog harus membuat sebanyak mungkin orang “untuk datang melihat masa lalu dan pekerjaan arkeolog dalam pengertian yang sama seperti para arkeolog profesional itu sendiri.” (Holtorf, 2007: 109) sedangkan “model hubungan-hubungan publiknya” menyatakan bahwa para arkeolog harus berusaha memperbaiki citra arkeologi di mata publik untuk mendorong lebih banyak lagi dukungan politik, ekonomi dan sosial untuk hal tersebut (Holtorf, 2007: 107, 114 – 119). Berkebalikan dengan kedua model ini yang sama-sama melihat publik sebagai subjek pendidikan atau lobi – dengan kata lain sebagai sebuah entitas yang diberikan padanya informasi oleh para arkeolog – “model demoratis” Holtorf menyatakan bahwa para arkeolog harus mengundang, mendorong, dan memungkinan setiap orang untuk secara bebas mengembangkan antusiasmenya sendiri dan kepentingan ‘akar rumput’ pada arkeologi (Holtorf, 2007: 119)

Dengan membandingkan kelima model yang ditunjukkan di atas, dapat dicatat bahwa model defisit Merriman dapat dibagi lagi secara konseptual ke dalam model hubungan-hubungan publik dan model edukasi Holtorf, sedangkan model perspektif beragamnya dapat diperbandingkan dengan model demokratis Holtorf (Gambar 1.1). Ini menyatakan bahwa ketiga model yang dikembangkan oleh Holtorf menampilkan versi dua model Merriman yang telah disaring. Dengan mempertimbangkan bahwa penyaringan model arkeologi-publik seperti itu membuat pemahaman tentang arkeologi publik menjadi lebih bernuansa, kami ingin mengajukan penyaringan tambahan di sini, yang tujuannya adalah untuk membedakan antara pendekatan “multivokal” dan “kritis” dalam perspektif beragam Merriman/model demokratis Holtorf. Meskipun kedua pendekatan ini seringkali dianggap progresif dan “kekiri-kirian” dalam pengertian teoritis, terdapat perbedaan pada keduanya, yang, dalam efeknya, sejajar dengan perbedaan antara epistomologi hermeneutik dan kritis dalam teori arkeologi (Hodder 2002; Preucel 1995).

Pendekatan kritis, sebagaimana tersirat dari namanya, berakar dari sebuah epistomologi kritis dan fokus pada pertanyaan tentang “kepentingan siapa saja yang dilayani oleh sebuah interpretasi tertentu masa lalu” (Hodder 2002: 79; lihat juga Hamilakis 1999a, b; Shackel 2004: 3–6; Shanks and Tilley 1987; Ucko 1990: xiii–xvi). Dengan menggemakan “teori kritis” yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial (Calhoun 1995; Horkheimer 1995 [1937]), pendekatan ini bertujuan untuk menyingkap dan menantang mekanisme sosio-politik yang menopang praktik-praktik dan interpretasi-interpretasi arkeologi tertentu, yang membantu mereproduksi dominasi yang diistimewakan secara sosial terhadap mereka yang takhluk secara sosial. Contoh-contoh pendekatan ini dapat ditemukan pada karya-karya yang dikerjakan di bawah bendera arkeologi kritis dan poskolonial (Leone et al. 1987; McDavid 2004; Shackel and Chambers 2004), “arkeologi dari bawah” (Faulkner 2000), and lainnya (Bender 1998).

Pendekatan multivokal, di sisi lain, berakar dari epistemologi hermeneutik dan bertujuan untuk menggali keragaman dalam pembacaan budaya materi masa lalu. Pada praktiknya, para arkeolog publik yang mengadopsi pendekatan ini berusaha untuk mengidentifikasi dan mengakui berbagai interpretasi materi-materi arkeologis yang disusun oleh individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam berbagai konteks masyarakat kontemporer (sebagai contoh, Hodder 1998a; Holtorf 2005b: Bab 6). Dengan kata lain, mereka berusaha untuk memperoleh sebuah pemahaman menyeluruh mengenai makna budaya materi masa lalu terhadap masyarakat, yang dapat dibedakan dengan tujuan pendekatan kritis yang bertujuan untuk menyoroti makna tertentu dari masa lalu, terkadang digunakan pada kelompok-kelompok yang teristimewakan secara sosial untuk menghadapi dominasi sosio-politik mereka (Faulkner 2000) dan di waktu yang lain digunakan untuk kelompok-kelompok yang termarginalisasi secara sosial guna membantu mereka mencapai pengakuan sosio-politik. (Bender 1998; McDavid 2004). Pada dasarnya, pemisahan pendekatan kritis dan multivokal yang dinyatakan di sini dapat diperbandingkan dengan perbedaan antara dua posisi dalam sayap “kiri” intelektual: kiri tradisional dan kiri liberal posmodern.

Dengan demikian, dari penggambaran dan penyulingan model-model yang diajukan oleh Merriman dan Holtorf, kita dapat mengidentifikasi adanya empat pendekatan untuk arkeologi publik: (1) pendidikan, (2) hubungan-hubungan publik, (3) kritis, dan (4) multivokal (Gambar 1.1.). Harus ditekankan bahwa semua pendekatan ini ditujukan untuk membuat arkeologi menjadi lebih relevan bagi publik umum. Namun demikian, keputusan tentang pendekatan yang mana yang akan digunakan – atau yang lebih realistis, pendekatan yang mana yang menjadi prioritas ketimbang lainnya – pada akhirnya ditentukan oleh perkembangan bentuk khusus arkeolog publik dalam tiap konteks. Dalam cahaya pemikiran seperti ini, salah satu tugas penting yang harus dilakukan dalam membawa arkeologi publik dari sebuah perspektif global adalah mengidentifikasi pendekatan yang mana yang lebih sesuai di setiap negara/wilayah dan menimbang implikasi-implikasinya. Sebagai contoh, jika pendekatan pendidikan atau hubungan-hubungan publik yang paling ditekankan, maka masuk akal mengasumsikan bahwa arkeologi publik di negara/wilayah itu lebih berorientasi praktis; dan sama halnya jika pendekatan kritis atau multivokal yang diprioritaskan, publik arkeologi akan menjadi lebih beorientasi teoritis: ini merupakan indikator-indikator penting tentang cara-cara arkeologi bekerja dan hal tersebut terletak dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, dengan memeriksa ciri-ciri dan wacana-wacana arkeologi publik di negara-negara/wilayah-wilayah yang berbeda dan kemudian membandingkannya dengan yang terjadi di seluruh dunia, kita pada akhirnya akan mampu memahami letak subjek tersebut berdiri hari ini dalam konteks global.
LABEL BANNER ANDA LABEL BANNER ANDA LABEL BANNER ANDA LABEL BANNER ANDA