Bagaimana kemudian “arkeologi publik” didefinisikan? Pertanyaan ini merupakan sebuah persoalan yang perlu dibahas karena istilah arkeologi publik memiliki pengertian yang berbeda pada orang-orang yang berbeda (Ascherson 2006: 50-51); dalam buku yang Anda pegang ini, Pyburn (Bab 3), Wang (Bab 4), Lea dan Smardz Frost (Bab 5), Kwon dan Kim (Bab 7), Shoocongdej (Bab 8), Burke, Gorman, Mayes, dan Renshaw (Bab 11), Colwell-Chanthaphonh, Ferguson, dan Gann (Bab 18), dan Saucedo-Segami (Chap. 19) masing-masing menawarkan narasi dan pandangan yang berbeda, namun tidak berarti bertentangan, mengenai kemungkinan definisinya.
Ketika istilah “arkeologi publik” dimunculkan oleh McGimsey (1972) pada awal tahun 1970-an, pengertiannya lebih ditekankan pada usaha-usaha para arkeolog untuk merekam dan melindungi tinggalan-tinggalan arkeologis yang terancam oleh proyek-proyek pembangunan, atas nama dan bersama dukungan publik (McGimsey 1872: 5-6; lihat juga Merriman 2004a: 3; Schadla-Hall 1999: 146-147). Pandangan ini masih banyak digunakan di USA, di mana arkeologi publik dikaitkan dengan manajemen sumber daya budaya (CRM) yang dijalankan untuk kepentingan publik (Cleere 1989: 4–5; Jameson 2004: 21; McDavid dan McGhee 2010: 482; McManamon 2000: 40; White dkk. 2004). Tetapi di tempat lain, istilah ini telah menerima pemaknaan baru yang beragam (Ascherson 2006, 2010; McDavid dan McGhee 2010: 482). Sebagai contoh, sebuah jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 yang didedikasikan untuk subjek ini, diberi judul Public Archaeology, menyusun daftar tema berikut yang mendesak untuk segera dibahas sebagai persoalan utamanya: kebijakan-kebijakan arkeologis, pendidikan dan arkeologi, politik dan arkeologi, arkeologi dan pasar barang-barang antik, etnisitas dan arkeologi, keterlibatan publik dalam arkeologi, arkeologi dan hukum, ekonomi arkeologi, serta pariwisata budaya dan arkeologi (Public Archaeology, 2000: sampul dalam)
Beragamnya persoalan yang bersinggungan dengan arkeologi publik menyiratkan bahwa subjek ini merupakan bidang kajian yang sangat luas, tetapi dapat juga menjadi sumber kebingungan. Sebagai contoh, ketika diminta untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dilakukan oleh arkeolog publik, beragam jawaban dapat muncul: misalnya, “mengkomunikasikan arkeologi ke publik,” “menjelaskan cara-cara arkeologi terhubung dengan publik,” membawa arkeolog ke/untuk publik,” dan “mengembalikan arkeologi kepada publik.” Beberapa bahkan kesulitan untuk menentukan apakah arkeologi publik merupakan sebuah bidang penelitian atau bidang praktis. Di samping situasi yang tampaknya membingungkan ini, kami ingin mengusulkan sebuah definisi tentang arkeologi publik yang sifatnya luas dan inklusif untuk buku ini. Alasannya sederhana: “publik” dan “arkeologi” memiliki pemaknaan yang berbeda di negara dan budaya yang berbeda.
Dari sebuah perspektif global, terdapat tiga alasan mengapa mode tunggal arkeologi sulit untuk disusun. Pertama, teori yang mendasari arkeologi bervariasi di seluruh dunia. Sebagai contoh, arkeologi di Amerika Utara sangat dipengaruhi oleh pemikiran antropologi, sementara di tempat lain, khususnya di Eropa, subjek ini terkait erat dengan sejarah (Hodder 1991: 9-11; Pyburn, Bab 3: 30). Selain itu, teori-teori prosesual dan posprosesual sangat mempengaruhi agenda arkeologi akademis di Amerika Utara, Britania, dan Australia, tetapi kurang berpengaruh di bagian-bagian dunia yang lain (Ucko 1995).
Kedua, praktik arkeologi berbeda-beda dari satu negara ke negara yang lain karena beragamnya kondisi sosial-politik dan ekonomi di negara-negara tersebut tempat para arkeolog bekerja. Di negara-negara maju, mayoritas utama ekskavasi dan penemuan arkeologi berlangsung pada sektor arkeologi penyelamatan, yang mana sebagai akibatnya sebagian besar arkeolog dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa arkeologi sebagai sebuah profesi terikat dengan pekerjaan-pekerjaan pembangunan (Aitchison 2009; Okamura, Chap. 6; Schlanger and Aitchison 2010). Di sisi lain, di negara-negara berkembang, tidak cukup banyak arkeolog yang bergantung pada pekerjaan ekskavasi penyelamatan sebagai sumber penghasilan mereka, yang merefleksikan bahwa para arkeolog tidak begitu terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan. Biasanya, di negara-negara ini, sebagian besar arkeolog profesional bekerja dan memiliki posisi di pemerintahan, universitas, lembaga penelitian dan museum, dan mereka ini terus-menerus bekerja dalam tekanan dengan kurangnya sumber daya manusia dan keuangan yang diperlukan untuk melakukan penelitian yang layak. Di beberapa negara, pariwisata yang mengapitalisasi sumber daya-sumber daya arkeologi menghasilkan pendapatan nasional atau lokal yang signifikan (lihat contoh Thailand dalam Schoocongdej, Bab 8) dan hal ini mempengaruhi praktik arkeologi yang mana mereka dituntut agar memberikan porsi yang lebih besar pada situs-situs dengan profil tinggi dan yang terawat dengan baik. Selain itu, jika sejumlah besar materi arkeologi masih belum diekskavasi, dan khususnya jika materi-materi arkeologi tersebut memiliki potensi nilai pasar yang tinggi, maka para arkeolog kemungkinan besar berurusan dengan pertarungan melawan penjarahan, yang juga akan mempengaruhi pekerjaan mereka.
Ketiga, makna arkeologi bagi masyarakat di tiap negara bergantung pada sejarah perkembangan arkeologi itu sendiri dalam konteks lokal. Persepsi publik tentang arkeologi seringkali terjalin dengan interpretasi dan interaksi masa lalu tradisi-tradisi lokal melalui budaya materi. Pandangan lokal seperti itu seringkali berakar dari tradisi yang jauh lebih tua dan lebih berpengaruh ketimbang arkeologi yang “ilmiah” (Gazin-Schwartz dan Holtorf 1999; Layton 1994; Matsuda 2010b; Smith dan Wobst 2005). Tiap sejarah setiap negara, khususnya apakah negara tersebut kolonisator atau yang dikolonisasi, pada akhirnya mempengaruhi makna arkeologi. Untuk negara-negara yang memiliki sejumlah materi arkeologi penting yang dibawa ke negara tersebut dari negara-negara lainnya, makna dan nilai penting arkeologi adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dengan makna dan nilai pentingnya pada negara-negara tempat materi-materi tersebut berasal. Masyarakat pada kelompok kedua ini sekarang harus melakukan perjalanan ke negara-negara kelompok pertama untuk mengakses materi-materi arkeologi tersebut, yang pada banyak kasus merupakan contoh-contoh penting dan yang mungkin mereka pandang sebagai objek curian. Jelasnya, arkeologi itu tidak sama, baik dalam hal asosiasi maupun aksesibilitas, di seluruh dunia.
Makna publik juga dipahami berbeda di wilayah-wilayah yang berbeda di seluruh dunia. Kata “publik” dalam bahasa Inggris memiliki dua makna atau konotasi yang berbeda namun saling terkait, “officialdom” dan “the people,” dan konotasi ganda ini tampaknya menciptakan efek ambiguitas terhadap istilah “arkeologi publik” (Carman 2002: 96–114; Matsuda 2004; Merriman 2004a: 1–2). Karena arkeologi publik awalnya terbentuk dan berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, negara-negara yang tidak berbahasa Inggris harus menemukan terjemahan yang tepat untuk memperkenalkan subjek ini ke dalam dimensi arkeologi mereka (Shepherd, 2005: 3), dan dalam proses ini makna ganda “publik” tersebut pada beberapa kasus telah menghadirkan kesulitan. Untuk bahasa-bahasa Eropa yang memiliki kata yang equivalen dengan kata “publik,” hal ini mungkin bukan sebuah persoalan (tetapi lihat Saucedo-Segami, Bab 19: 252), tetapi bagi bahasa-bahasa non-Eropa sulit untuk menangkap ambiguitas “arkeologi publik” ini. Sebagai contoh, di Jepang, kata Inggris “public” diterjemahkan sebagai kÇ’kyÇ’, yang lebih dekat dengan konotasi “officialdom” ketimbang “the people.” Akibatnya, satu-satunya cara menyiratkan konsep ganda kata “the public” adalah dengan menggunakan kata Inggris tersebut yang dituliskan secara fonetikal paburikku; dengan demikian, arkeologi publik menjadi paburikku kokogaku. Dalam bahasa Asia Timur lainnya, Cina, terjemahan kata “public” juga sama problematisnya, tetapi solusi yang ditemukan pada kasus ini adalah dengan menawarkan dua terjemahan yang berbeda dari arkeologi publik untuk situasi-situasi yang berbeda: gongzhong kaoguxue (archaeology of the public) or gonggong kaoguxue (shared archaeology). Seperti dijelaskan oleh Wang:
Dua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, yang dengan demikian menyebabkan interpretasi yang berbeda dalam konteks yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bagi pemerintah, arkeologi publik adalah tentang mengontrol arkeologi melalui legislasi dan pendanaan. Bagi para arkeolog, hal tersebut tentang komunikasi dan jejaring. Bagi publik umum, hal tersebut tentang hak untuk menggunakannya.
Pada akhirnya, makna kata “publik” merefleksikan cara-cara masyarakat tertentu mengembangkannya dalam konteks sosial dan politik yang berbeda, yang juga mempengaruhi bagaimana arkeologi dan aktifitas-aktifitas yang terkait dengannya bekerja dan berkembang. Ketika cara pandang seperti ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan, terjemahan “arkeologi publik” bahkan menjadi lebih rumit dan pengenalan gagasan-gagasan dibalik istilah ini ke negara-negara bukan berbahasa Inggris (non-Anglophone) bahkan lebih memiliki banyak tantangan. Godaan yang sering muncul di sini adalah untuk fokus hanya pada hal-hal yang terdapat di negara mana pun itu, yaitu ketentuan dan kontrol resmi arkeologi dalam kepentingan publik, dan memperlakukannya sebagai definisi universal arkeologi publik. Namun demikian, mengadopsi definisi yang otoritatif dan dangkal seperti itu akan mengeluarkan beragam kemungkinan arkeologi publik, khususnya yang dapat mendorong dan memperkuat anggota publik untuk membangun dan mengekspresikan kisah masa lalu mereka (Holtorf 2005a).
Dalam pandangan di atas, sebagai editor buku ini, kami mempertimbangkan bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap arkeologi publik dari sebuah perspektif global, kami mengadopsi sebuah definisi yang sifatnya seluas dan seinklusif mungkin. Dengan demikian, kami mendefinisikan arkeologi publik sebagai sebuah subjek yang menjelaskan hubungan antara arkeologi dan publiknya, dan kemudian memperbaikinya. Beberapa poin harus dibuat mengenai definisi tentatif ini. Pertama, ada penelitian tentang hubungan arkeologi – publik, yang kemudian diikuti dengan tindakan untuk memperbaiki hubungan tersebut, dan penelitian lagi, yang diikuti oleh tindakan, dan begitu seterusnya. Penelitian melibatkan pengumpulan dan analisis data yang dapat mengambil bentuk penelitian berdasarkan praktik, tetapi yang penting adalah hal tersebut ditujukan untuk membawa perubahan – beberapa perbaikan – dalam hubungan arkeologi dengan publik. Perlu dicatat bahwa wacana arkeologi publik yang paling baru tidak semata mendeskripsikan berbagai hubungan arkeologi-publik tetapi juga secara aktif merubah hubungan tersebut dan mengembangkannya.
Perubahan dalam hubungan arkeologi-publik tidak secara otomatis muncul dari penelitian: hal tersebut memerlukan tindakan yang akan ditemukan melalui penelitian tersebut. Sebagai contoh, tindakan tersebut dapat diciptakan dalam bentuk praktik yang menawarkan pendidikan dan informasi arkeologi kepada publik yang lebih luas, yang melibatkan anggota-anggota publik dalam penelitian arkeologi, dan menyertakan publik dalam diskusi dan lobi-lobi dan juga “kritik” yang lebih ilmiah (Grima 2009: 54). Kami menganggap bahwa mengambil tindakan seperti itu merupakan elemen penting arkeologi publik. Pada akhirnya, kami dengan demikian melihat arkeologi publik sebagai sebuah komitmen yang dibuat oleh para arkeolog untuk membuat arkeologi lebih relevan pada masyarakat kontemporer.