Add caption |
Konsekuensi logis dari lahirnya era disrupsi adalah tuntutan adaptasi melalui literasi teknologi. Karenanya, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah sebuah kebutuhan yang tidak terelakan.
"Meski demikian, literasi teknologi bukanlah satu-satunya jawaban. Karena era disrupsi tidak hanya menawarkan kemajuan dan nilai tambah, melainkan juga dampak yang bersifat multidimensional," ujar Bamsoet saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bertema 'Meneguhkan Komitmen Kebangsaan di Era Disrupsi' kepada Pelajar Islam Indonesia (PII) secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI di Jakarta, Senin (20/7/20).
Turut serta antara lain Ketua Umum PB PII Husin Tasrik Makrup Nasution, Sekretaris Jenderal PB PII Aris Darussalam, Wakil Sekjen PB PII A.A. Fauzul Adzim serta ratusan kader PII di seluruh Indonesia.
Mantan Ketua DPR RI ini menuturkan di era disrupsi, digitalisasi dalam bidang industri akan mengoreksi peran dan kebutuhan sumberdaya manusia pada berbagai bidang. Teknologi robotik yang bekerja dengan cepat, akurat, efisien, tidak mengenal lelah, akan menggeser peran sumber daya manusia yang dalam beberapa aspek mempunyai kelemahan.
"Sebagai contoh, produk kecerdasan buatan (artificial intelligence) di bidang hukum telah melahirkan teknologi bernama COIN (Contract Intelligence). Sebuah mesin pintar yang memiliki kemampuan menganalisa perjanjian kredit dalam waktu yang singkat dan dengan tingkat akurasi yang optimal. Ini jauh lebih cepat dari rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh seorang advokat untuk mengerjakan hal yang sama," kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan, disrupsi teknologi juga akan melahirkan kesenjangan dalam hal literasi teknologi. Misalnya dalam dunia pendidikan, untuk menyiapkan siswa agar mampu beradaptasi dalam menghadapi tantangan zaman, harus dibangun pola dan sistem pendidikan yang dapat menghilangkan kesenjangan teknologi antara kompetensi guru, kebutuhan siswa serta sarana prasarana pendidikan di sekolah.
"Perlu sinergi agar ketiga variabel tersebut tidak terjebak dalam kesenjangan teknologi. Di mana gurunya masih dengan mindset abad 20, siswanya lahir dan hidup di abad 21, dan fasilitasi sekolah masih merujuk abad 19," urai Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengingatkan, era disrupsi akan membuat kehidupan sosial masyarakat cenderung semakin individualistik. Fakta bahwa kemajuan teknologi menawarkan kemudahan dalam banyak hal, sedikit banyak akan mengevaluasi cara pandang kita sebagai makhluk sosial.
"Kemajuan teknologi telah mereduksi ketergantungan terhadap peran individu lain dalam sistem sosial kemasyarakatan kita. Pemanfaatan internet secara salah juga dapat mendorong lahirnya sikap intoleran, penyebaran hoax, bahkan tindakan kriminal," tutur Bamsoet.
Lebih jauh, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menandaskan, era disrupsi tidak boleh menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dan membutakan visi kebangsaan. Karena tidak semua nilai-nilai global yang masuk tersebut selaras dengan jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia.
"Survey LSI Tahun 2018 menemukan bahwa dalam kurun waktu 13 tahun, periode 2005 sampai dengan 2018, masyarakat yang pro terhadap Pancasila telah mengalami penurunan sekitar 10 persen. Dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018," papar Bamsoet.
Tak hanya itu, lanjut Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, dalam survey yang dilakukan pada akhir Mei 2020 oleh Komunitas Pancasila Muda, dengan responden kaum muda dari 34 provinsi, tercatat hanya 61 persen responden yang merasa yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan dengan kehidupan mereka.
"Karenanya, saya mengajak seluruh generasi muda, termasuk kader PII, untuk mampu menyikapi era disrupsi dengan bijak. Jadilah bagian dari kader-kader bangsa yang mampu merespon era disrupsi dengan mengembangkan setiap potensi dan kapasitas diri, untuk memajukan bangsa tanpa menanggalkan karakter ke-Indonesiaan kita," pungkas Bamsoet. (*)