Terdapat beberapa publikasi pelopor yang berangkat dari aspek-aspek tertentu sudut pandang internasional tentang arkeologi publik – sebagai contoh, pendidikan arkeologis (Stone and Molyneaux 1994; Stone and Planel 1999), arkeologi komunitas (Marshall 2002), dan CRM (Cleere 1984, 1989; McManamon and Hatton 2000; Messenger and Smith 2010). Namun demikian, subjek ini secara keseluruhan belum teruji secara mendalam dari sebuah perspektif global (tetapi lihat Merriman, 2004b). Karena buku ini ditujukan sebagai sebuah katalis untuk memulai sebuah pengujian komparatif terhadap arkeologi publik di seluruh dunia, akan sangat berharga sekali mempertimbangkan mengapa sebuah perspektif global seperti itu penting untuk diadopsi.
Hal pertama yang perlu diingat kembali adalah bahwa perkembangan arkeologi publik itu tidak beragam dan tidak setara di seluruh dunia. Dengan kejelasan seperti ini, definisinya diterima secara umum, subjek ini telah muncul pada saat-saat yang berbeda di negara-negara dan wilayah-wilayah yang berbeda, seringkali terima kasih dialamatkan kepada usaha-usaha orang-orang tertentu yang telah menjadikan arkeologi menjadi lebih baik dalam masyarakat modern (lihat, sebagai contoh, kasus Kanada dalam Lea dan Smardz, Bab 5). Meskipun, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, arkeologi publik pada awalnya diusulkan dalam kaitannya dengan CRM di USA pada tahun 1970-an, subjek ini dengan segera diperkenalkan di Inggris, Australia dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya, yang secara bertahap memperluas cakupannya jauh dibalik CRM. Artikel Lea dan Smardz Frost (Bab 5) menawarkan sebuah kritik dan pengujian yang detail terhadap proses ini di Kanada.
Pada sekitar permulaan abad ke-21, arkeologi publik mulai menarik minat para arkeolog di negara-negara bukan berbahasa Inggris, dan usaha-usaha dilakukan untuk menggabungkannya ke dalam arkeologi lokal. Akan lebih baik mengatakan bahwa penyebaran global arkeologi publik masih terus berlangsung, sebagaimana diperlihatkan oleh publikasi-publikasi terkini mengenai subjek ini yang sedang bangkit oleh para arkeolog di berbagai belahan dunia (Bonacchi 2009, Fredrik dan Wahlgren 2008; Funari 2001, 2004; Green et al. 2001; Guo dan Wei 2006 [disebutkan dalam Wang, Bab 4]; Matsuda 2005, 2010a), termasuk bab-bab dalam buku ini.
Dalam pandangan di atas, dapat dinyatakan bahwa nilai penting membawa arkeologi publik dari sebuah perspektif global berasal dari kebutuhan untuk menguji sejauh mana subjek ini dikenal oleh para arkeolog di berbagai negara/wilayah di dunia, sama halnya dengan penerimaan dan adaptasinya di setiap konteks lokal. Untuk menekankan poin ini, akan bermanfaat untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang berperan pada perkembangan arkeologi publik di Amerika Utara, Inggris dan Australia dapat diterapkan pada bagian-bagian dunia lainnya.
Dengan mencari dalam literatur yang menganalisis pertumbuhan arkeologi publik di wilayah atau negara-negara tersebut sejak tahun 1970-an (Ascherson 2000; Jameson 2004; Merriman 2002, 2004a; Schadla-Hall 1999, 2006; Shackel 2004), dapat diidentifikasi bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menjelaskan hal ini: (1) perkembangan teori-teori arkeologi, khususnya teori-teori posprosesual, yang menekankan bahwa praktik dan interpretasi arkeologi tidak terlepas dari ideologi-ideologi kontemporer dan bahwa terdapat banyak pendekatan untuk memahami tinggalan-tinggalan arkeologis, termasuk pendekatan-pendekatan yang tidak didasarkan pada metode-metode dan metodologi arkeologi; (2) wacana poskolonial mengenai “politik masa lalu” (Gathercole and Lowenthal 1990), yang mana telah banyak arkeologi melibatkan diri dalam wacana ini terkait dengan interpretasi dan manajemen heritage arkeologis; (3) terus meningkatnya ekonomi yang didorong oleh pasar dalam masyarakat modern yang telah menyebabkan berkembangnya industri heritage di satu sisi dan meningkatnya kesadaran tentang perlunya melakukan kerja-kerja arkeologis dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara finansial dan pada publik di sisi lain.
Namun demikian, masih dipertanyakan apakah ketiga faktor yang diuraikan di atas dapat diterapkan secara langsung di luar Amerika Utara, Inggris dan Australia. Sebagaimana telah disebutkan, arkeologi posprosesual berpengaruh di ketiga wilayah ini, tetapi kurang demikian di belahan-belahan lainnya di dunia (Hodder 1991; Ucko 1995). Akibatnya, diskusi-diskusi mengenai politik praktis, interpretasi arkeologis, dan keberagaman suara mengenai bukti arkeologis belum secara aktif dikejar oleh para arkeolog di negara-negara bukan berbahasa Inggris tersebut, karena mereka merasa belum harus melihat persoalan-persoalan tersebut sebagai salah satu hal yang harus menjadi fokus kajian arkeologi.
Sejauh mana tingkat wacana poskolonial politik masa lalu telah dibawa ke dalam arkeologi juga beragam di seluruh dunia, yang merefleksikan pengalaman-pengalaman masa lalu kolonial yang berbeda, dan terkadang bahkan tidak hadir, di tiap negara/wilayah. Sebagai contoh, meskipun sekarang ini telah banyak arkeolog yang memusatkan perhatian mereka pada hak-hak penduduk asli di Amerika, Australia dan Afrika untuk menggunakan dan mengakses warisan budaya nenek moyang mereka, hak-hak tersebut kurang dipertimbangkan dan dibahas dalam hubungannya dengan warisan budaya nenek moyang orang-orang Eropa; hal ini masih dapat diperdebatkan karena “penduduk asli” Eropa telah diistimewakan dari “imigran-imigran” yang lebih baru datang ” (Tarlow 2001: 252; lihat juga Kuper 2003: 390; Merriman 2004a: 14). Namun, negara-negara di Asia Barat dan Selatan mengalami variasi kolonialisme yang beragam (Barlow 1997; Bastin and Benda 1968), meskipun begitu negara-negara tersebut jarang disebut dalam pembahasan-pembahasan mengenai arkeologi dan poskolonialisme. Secara umum, para arkeolog di negara-negara tersebut tampaknya malu-malu melibatkan diri dengan masa lalu kolonial mereka (tetapi lihat Mizoguchi 2010; Pai 2010).
Tidak seperti dua faktor dalam perkembangan arkeologi publik di negara-negara berbahasa Inggris yang telah disebutkan sebelumnya, ekspansi ekonomi yang digerakkan oleh pasar merupakan sebuah fenomena global yang masih dapat diperdebatkan. Jauh lebih aman mengatakan bahwa sekarang ini tekanan pada arkeologi jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, di seluruh dunia, untuk membenarkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kegiatan-kegiatannya. Hal ini merupakan kasus di mana sejumlah besar dana publik dihabiskan pada pekerjaan arkeologis, tetapi bahkan jika pun biaya-biaya tersebut dibebankan pada sponsor-sponsor swasta, sponsor-sponsor tersebut sekarang ini tidak akan membiarkan para arkeolog berkonsentrasi sepenuhnya pada karya-karya ilmiah tetapi akan meminta mereka menunjukkan manfaat dari pekerjaan mereka untuk audiens yang lebih luas. Dalam perkembangan seperti itu, arkeologi menjadi lebih terbuka dieksploitasi oleh industri heritage. Terdapat individu-individu, termasuk para arkeolog, dan korporasi-korporasi, yang jumlahnya terus meningkat, yang menjadi tertarik mengembangkan usaha melalui penjualan “komoditas-komoditas arkeologi” (Moshenska 2009) dengan cara-cara yang beragam. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa ekspansi global ekonomi pasar sekali lagi memiliki pengaruh yang berbeda pada bagian-bagian dunia yang berbeda, yang pada akhirnya memberi pengaruh yang berbeda pada arkeologi di seluruh dunia. Sebagai contoh, dapat diduga bahwa publik di negara-negara yang pasarnya lebih terbuka akan mengharapkan arkeologi menghasilkan manfaat yang sifatnya lebih langsung, bahkan dalam pengertian moneter. Ekspektasi seperti itu lebih kecil di negara-negara yang pasarnya diatur dengan cara yang lebih ketat oleh negara.
Dengan demikian, ketiga faktor yang telah berperan pada pertumbuhan arkeologi publik di Amerika Utara, Inggris dan Australia kemungkinan memiliki pengaruh yang berbeda pada perkembangan subjek ini di bagian-bagian dunia yang lain. Pergeseran menuju ekonomi yang digerakkan oleh pasar yang sedang berlangsung di seluruh dunia telah meningkatkan tekanan pada arkeologi di sebagian besar, jika bukan semuanya, negara-negara agar berhenti hanya melayani komunitas intelektual kampus dan agar menunjukkan secara eksplisit nilainya bagi masyarakat kontemporer dan meningkatkan nilai tersebut untuk ke depannya; artikel Shoocongdej (Bab 8), sebagai contoh, menyebutkan adanya penggunaan arkeologi secara ekstensif di Thailand guna pengembangan wisata heritage. Dalam konteks ini, arkeolog publik dianggap bermanfaat oleh arkeolog dan publik umum dengan cara seperti itu karena hal tersebut tampaknya mampu mempengaruhi peningkatan “manfaat publik” arkeologi (Little, 2002). Dengan demikian, kita dapat mengharapkan agar lebih banyak lagi elemen-elemen arkeologi publik disertakan dalam projek-projek arkeologis di seluruh dunia pada tahun-tahun yang akan datang, bukan semata-mata karena hal ini dapat menjadi sebuah cara untuk mengamankan pendanaan untuk arkeologi.
Namun demikian, persoalan yang lebih fundamental adalah hal-hal yang akan terjadi dengan kondisi arkeologi publik yang “terlalu melihat kegunaan” ini – apakah, misalnya, subjek ini akan berubah substansinya ketika menyebar ke seluruh dunia, dan jika demikian bagaimana caranya. Seperti yang telah dinyatakan di atas, arkeologi publik sejauh ini sebagian besar telah berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, di mana arkeologi posprosesual dan wacana poskolonial telah mempengaruhinya. Belum terlihat bagaimana subjek ini akan berkembang ketika diterapkan di wilayah-wilayah dunia yang baru, di mana arkeologi disokong oleh teori-teori berbeda dan beroperasi di bawah kondisi-kondisi sosio-politik yang berbeda; poin ini disoroti dengan jelas dalam artikel Wang (Bab 4), Okamura (Bab 6), Kwon dan Kim (Bab 7), Shoocongdej (Bab 8), dan Saucedo-Segami (Bab 19), yang menampilkan kondisi-kondisi arkeologi publik yang berbeda di Cina, Jepan, Korea Selatan, Thailand dan Peru secara berturut-turut.
Yang kemudian memperumit situasinya, beberapa arkeolog melakukan projek-projek arkeologi internasional dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan arkeologi publik di luar negeri, seperti yang dicontohkan dalam studi kasus Matsuda (Bab 13). Sebagian besar projek ekskavasi internasional ini dilakukan oleh para arkeologi yang berasal dari negara-negara maju di negara-negara berkembang (lihat Saucedo-Segami, Bab 19: 252; Shoocongdej, 2006), dan warisan arkeologi kolonial yang tampak jelas pada tahun-tahun belakangan ini telah dipertanyakan oleh para arkeolog dengan pikiran yang reflektif dan kritis (Gero, 2006). Dalam merespon situasi seperti ini, beragam jenis kegiatan arkeologi publik yang bersifat tambahan dan “penggantian kerugian” sekarang ini telah diimplementasikan bersama-sama dengan kerja penelitian arkeologi yang utama dalam projek-projek ekskavasi internasional. Aktifitas-aktifitas tersebut mulai dari pencapaian sederhana, kerja kolaboratif yang diselenggarakan bersama-sama dengan komunitas-komunitas lokal, hingga penelitian sosiologis dan etnografis tentang interaksi antara pekerjaan arkeologis dan masyarakat lokal (Bartu, 2002; Matsuda, Bab 13; Shankland, 1996, 2000). Inisiatif-inisiatif arkeologi publik seperti itu diikat untuk merubah hubungan antara arkeologi dan publik di setiap lokalitas dan, jika hasilnya signifikan, dapat juga mempengaruhi cara arkeologi publik berkembang di negara tuan rumah. Bersama kemajuan globalisasi, dapat diharapkan lebih banyak lagi projek-projek ekskavasi skala internasional ke depannya, dan hal ini merupakan alasan lainnya mengapa penting melihat arkeologi publik dari perspektif global.