f Persoalan yang penting untuk diketahui dalam arkeologi publik - BERITA NUSANTARA

Senin, 13 Agustus 2012

Persoalan yang penting untuk diketahui dalam arkeologi publik

Bagaimana Mengatasi Masa Lalu yang Berbeda, Terfragmentasi?

Persoalan yang penting untuk diketahui dalam arkeologi publik global adalah apakah pendekatan multivokal dan/atau kritis “demokratis” yang telah dibahas pada bagian awal dapat diterima, mungkin dengan beberapa pengaturan, di luar negara-negara berbahasa Inggris. Dasar teoritis yang menyangga kedua pendekatan tersebut – masa lalu dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda – belum berakar kuat bahkan dalam arkeologi publik di negara-negara berbahasa Inggris, dan hal ini terutama disebabkan sulitnya menyepakati kriteria yang digunakan dalam menaksir ketepatan setiap interpretasi masa lalu (Lampeter Archaeology Workshop 1997: 172–173). Sederhananya, kriteria tersebut dapat berupa bukti material, akurasi ilmiah, konteks budaya, keterwakilan, keadilan sosial atau campuran dari itu semua; hal ini dengan jelas menyatakan bahwa menginterpretasikan masa lalu bukanlah semata sebuah tindakan keilmuan (ilmiah), tetapi juga tindakan sosial dan budaya. Dengan demikian, berhadapan dengan cerita masa lalu yang berbeda yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda seringkali berujung pada keterlibatan politik, apakah itu lokal, nasional atau internasional. Penyebaran global arkeologi publik dalam kaitannya dengan hal ini menjadi menarik, karena pada akhirnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan di tiap negara/wilayah mengenai sejauh mana arkeologi atau para arkeolog harus terlibat dalam “politik masa lalu.”

Bab-bab dalam buku ini menyiratkan bahwa terdapat dua cara bagi arkeologi publik berhadapan dengan “masa lalu-masa lalu yang berbeda.” Salah satunya adalah berusaha menciptakan sebuah narasi masa lalu yang di dalamnya kelompok-kelompok kepentingan yang beragam dapat mengakuinya, seperti yang dicontohkan melalui studi kasus New Caledonia oleh Sand, Bole dan Ouetcho (Bab 9) dan Pulau Goree di Senegal oleh Thiaw (Bab 10). Mengintegrasikan cerita-cerita masa lalu yang beragam merupakan hal yang penting secara politik karena hal tersebut membantu mengatasi perbedaan dan antagonisme di antara kelompok-kelompok identitas (Archibald 1999: Bab 5) dan menciptakan serangkaian kompromi. Thiaw (Bab 10: 135) mendeskripsikan usahanya menyusun sebuah sejarah bersama dan inklusif dari Pulau Goree sebagai berikut:


(S)ejarah Goree dicirikan oleh kepentingan kelompok-kelompok yang beragam dengan status sosial yang berbeda, juga oleh identitas rasial, budaya dan nasional. Selama bertahun-tahun, tiap identitas yang berbeda tersebut telah mengembangkan sebuah agenda peringatan yang sifatnya selektif, yang pada saat bersamaan menyembunyikan pengalaman-pengalaman dan ingatan-ingatan identitas-identitas yang lain. Pertanyaannya adalah: bagaimana mengapresiasi dan memperingati pengalaman-pengalaman dan kontribusi-kontribusi semua kelompok tanpa melakukan marginalisasi?

Terdapat juga sebuah pertanyaan yang lebih mendasar tentang apakah arkeologi harus aktif mengambil bagian dalam proses politik untuk mengunifikasi masyarakat. Sand, Bole dan Ouetcho (Bab 9: 123) mengartikulasikan “dilema” ini ketika bekerja di New Caledonia yang multietnis dan multikultur dalam bentuk sebuah pertanyaan:

(A)pakah para arkeolog berperan menyediakan masyarakat sipil data historis yang menawarkan sebuah visi yang bersifat membangun secara budaya dan bermanfaat secara sosial, tetapi pada saat yang sama tidak terelakkan lagi“termanipulasi” secara politis?
Terdapat alasan yang masuk akal untuk berhati-hati terhadap penggunaan arkeologi secara politis karena “penyalahgunaannya” dapat memiliki pengaruh yang merusak bagi masyarakat (sebagai contoh, Arnold, 1990; Lal, 2001; Rao dan Reddy, 2001; Sharma, 2001), terkadang bahkan menempatkan mereka dalam bahaya fisik, khususnya ketika nasionalisme dilibatkan di dalamnya (Kohl dan Fawcett, 1995; Kohl dkk., 2007). Namun, jika menerima bahwa arkeologi apa pun itu bekerja di bawah pengaruh sosial dan politik masyarakat modern (lihat Kwon and Kim, Bab 7: 90; Shoocoongdej, Bab 8: 97–99) dan bahwa hal tersebut sebaliknya dapat berkontribusi pada keberlanjutan dan perbaikan, setidaknya sebagian, struktur sosial tersebut, maka persoalannya bukan lagi tentang cara-cara menghindari keterlibatan politik, tetapi lebih pada cara-cara “mengambil posisi” (Hodder, Bab 2), yang mengasumsikan tanggung jawab sosial arkeologi dalam melibatkan diri dengan kelompok-kelompok dan masa lalu-masa lalu berbeda. Mengenai hal ini, Hodder berpendapat (Bab 2: 26):

Tidak cukup dengan mengatakan bahwa arkeolog adalah mediator yang relatif tidak memiliki kekuatan yang kerjaannya hanya mempertemukan para stakeholder. Tidak mungkin menjadi netral di antaranya. Para arkeolog memiliki pengaruh sebagai ahli yang profesional, dan mereka harus mengakui bahwa tidakan-tindakan mereka sebagai ahli berpengaruh pada dunia yang mana mereka turut bertanggung jawab di sana.
Cara lainnya berhadapan dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda adalah dengan berusaha menyuarakan masa lalu-masa lalu yang ter(di)abaikan. Hal ini dapat berarti usaha mendukung dan mempromosikan masa lalu-masa lalu yang ditekan secara politis – sejalan dengan pendekatan kritis – atau menggali cerita-cerita masa lalu yang relevan secara sosial yang telah dikeluarkan dari pertimbangan arkeologis karena sifatnya yang tidak ilmiah. Sebagai contoh untuk yang pertama, artikel Badran (Bab 15) menyiratkan bahwa satu dari empat alasan dikeluarkannya masa lalu kuna dalam kurikulum kewarganegaraan utama orang-orang Jordan adalah “penggunaan masa lalu secara ideologis” yang ditujukan untuk memelihara nasionalisme Arab dan mendukung penguasa Hashmite. Dia mendesak agar arkeologi diperkenalkan dalam pendidikan formal di Jordan sehingga para siswa dapat “mengapresiasi sepenuhnya kekayaan masa lalu mereka,” termasuk masa lalu non-Arab dan non-Islam. Dalam sebuah contoh yang sedikit berbeda namun masih analog, Murata (Bab 17) menjejaki lintasan pendidikan sejarah pada kurikulum sekolah orang-orang Jepang dan menunjukkan adanya “peleburan yang aneh nasionalisme dan neo-liberalisme” dalam kebijakan pendidikan jepang di tahun-tahun belakangan ini. Sebagai sebuah strategi untuk melawan kecenderungan nasionalis yang terus meningkat dalam kurikulum tersebut, dia mendesak untuk memperkuat pembelajaran berbasis lokal melalui arkeologi pada pendidikan sekolah.

Contoh-contoh untuk yang kedua diberikan dalam empat artikel dalam buku ini. Burke, Gorman, Mayes, dan Renshaw (Bab 11) memeriksa sejarah oral permukiman-permukiman yang dulunya mengalami serangan udara, bernama Rapat (Rapat air-raid shelters) di Adelaide dan melihat betapa pentingnya “mitos-mitos sosial” tersebut berhubungan dengan permukiman-permukiman komunitas lokal. Hal ini menjadikan ketiganya mempertimbangkan kembali peran arkeologi dalam “tindakan mengingat kolektif masyarakat” tersebut, dan mereka menyimpulkan bahwa investigasi arkeologis untuk mengungkap “kebenaran” permukiman-permukiman tersebut akan menghilangkan mitos-mitos sosial mereka, dan dengan demikian berpotensi memperlemah hubungan masyarakat dengan komunitasnya. Cerita Shepherd (Bab 12) tentang perselisihan mengenai penggalian sisa-sisa jasad manusia Prestwich Street di Cape Town memperlihatkan adanya perbedaan antara sifat ilmiah arkeologi yang ingin “menyingkap” masa lalu yang terkait dengan sisa-sisa jasad tersebut dan keinginan masyarakat untuk tetap mendiamkan, merahasiakan, dan mengubur masa lalu mereka. Argumennya bahwa gaya pencerahan “kehendak untuk mengetahui” tidak selalu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas untuk mengingat secara kolektif sejarah mereka – khususnya rasa sakit dan trauma – yang terkait dengan tempat senada dengan argumen Burke, Gorman, Mayes dan Renshaw. Mereka semua berusaha untuk mendamaikan masa lalu arkeologis – atau masa lalu versi para arkeolog – dengan masa lalu versi non-arkeologis, dan juga berusaha mencari masa lalu alternatif dan bermakna secara sosial.

Pendirian yang sama digunakan oleh Colwell-Chanthaphonh, Ferguson dan Gann (Bab 18), yang merangkul konsep multivokal dalam mengejar arkeologi kolaboratif di Lembah San Pedro. Dengan mengatakan bahwa multivokalitas “bukanlah semata pluralitas, tetapi sebuah pelibatan suara-suara yang berbeda yang muncul secara bersama-sama yang menceritakan tentang sebuah kisah yang menyeluruh dan kompleks” (Colwell-Chanthaphonh dkk., Bab 18: 241, garis miring pada naskah asli), mereka bertujuan untuk mengembangkan penelitian arkeologis dan etnohistoris mereka ke dalam sebuah projek pendidikan, yang ditujukan untuk publik nasional, komunitas-komunitas penduduk pribumi Amerika, penduduk yang terbilang relatif baru di lembah tersebut melalui penggunaan internet. Seperti yang dinyatakan oleh mereka, internet dapat menawarkan sebuah panggung yang dapat digunakan oleh kelompok-kelompok yang beragam tersebut untuk mengekspresikan pandangan masa lalu mereka dan berterima kasih pada interaktivitas multimedia (lihat tulisan awal Hodder mengenai hal ini dalam Hodder, 1997: 698-699), dan karena cara-cara seperti ini memiliki potensi untuk membantu para arkeolog publik terlibat dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda, bahkan dalam konteksnya yang global.

Karya etnografis Abu-Khafajah (Bab 14) yang menggarap Benteng Amman di Jordan fokus pada “proses penciptaan makna” yang memainkan peran dalam interpretasi masyarakat lokal terhadap benteng tersebut. Karyanya menyoroti keragaman makna yang berasal dari benteng tersebut, dan makna-makna tersebut dapat dianggap sebagai sebuah usaha untuk menyoroti pandangan-pandangan masa lalu yang relevan dengan komunitas lokal tetapi diabaikan karena sifatnya yang tidak ilmiah.

Agar pelibatan diri dengan masa lalu-masa lalu yang berbeda berhasil dilakukan, faktor kuncinya adalah membuat lebih jelas batasan peran yang harus dimainkan oleh para arkeolog dalam diskusi-diskusi publik mengenai interpretasi masa lalu. Dalam diskusi-diskusi seperti itu, para arkeolog, sebagai contoh, dapat menjadi pendidik, instruktur, konsultan, fasilitator, atau kolaborator. Pastinya, peran mereka perlu diperjelas dengan pertimbangan konteks sosial, budaya dan politik tempat diskusi-diskusi tersebut dijalankan, dan dalam keadaan tertentu mereka harus memainkan ganda atau triple pada saat yang bersamaan. Namun demikian, peran apa pun yang mereka mainkan, harus selalu diingat bahwa para arkeolog berbeda dari publik lainnya karena mereka menguasai metode dan metodologi arkeologi dan bahwa pengetahuan tersebut dapat menjadi sebuah sumber otoritas dalam pembahasan interpretasi masa lalu dengan masyarakat yang lain. Pengetahuan adalah kekuasaan (Foucault, 1980) dan pengetahuan dapat bermanfaat dan juga menindas. Meskipun pengetahuan arkeologi tidak, dan seharusnya tidak, memberikan kepada para arkeolog hak untuk mengontrol diskusi publik tentang cara-cara menginterpretasikan masa lalu, pengetahuan tersebut akan, dan harus, membantu mereka dalam mengambil beberapa otoritas dalam diskusi-diskusi tersebut (Hodder 1998b: 217). Jelasnya, sebuah masa lalu yang diinterpretasikan secara arkeologi masih merupakan masa lalu yang satu. Namun, masa lalu tersebut merupakan sebuah masa lalu yang merupakan dasar yang harus dilibatkan dengan masa lalu-masa lalu alternatif lainnya. Jika kita menerima bahwa arkeologi publik adalah sebuah usaha membuat disiplin ilmu arkeologi lebih relevan dengan masyarakat kontemporer, mereka yang mendukung hal ini harus bersifat refleksif, bukannya desktruktif, terhadap metode-metode dan metodologi arkeologi.

Dengan alasan yang sama, dapat dikatakan bahwa kebutuhan untuk mengatasi persoalan masa lalu-masa lalu yang berbeda tidak mengurangi nilai penting menawarkan pendidikan arkeologis yang bersifat publik. Henson (Bab 16) menyiratkan bahwa penekanan yang terlalu besar pada epistemologi dan hermeneutika dalam arkeologi – misalnya, “bagaimana kita melakukan pekerjaan arkeologi” dan “bagaimana menginterpretasikan temuan-temuan kita” – dapat menyebabkan kita mengabaikan “apa yang menjadi alasan utama kita melakukan pekerjaan arkeologi.” Dia juga mengatakan perlunya memberikan penekanan pada efek memberdayakan pendidikan arkeologi dan menekankan bahwa dengan mempelajari keterampilan-keterampilan arkeologis, masyarakat dapat “mengambil bagian untuk diri mereka sendiri” dalam menciptakan makna masa lalu. Muraki (Bab 20) menyatakan pendapat yang serupa dalam ulasannya mengenai program ekskavasi partisipatoris dengan membagi “kenikmatan” ekskavasi dan mengatakan bahwa “para peserta dapat mempelajari keterampilan-keterampilan tersebut untuk belajar sendiri tentang arkeologi, sejarah, dan masa lalu dengan menyenangkan” (Muraki, Bab 20: 273). Meskipun demikian, baik Henson maupun Muraki adalah penentang nyata imposisi pandangan-pandangan “para arkeolog” tentang publik. Seperti yang ditunjukkan Muraki, dalam upaya agar pendidikan arkeologi berhasil, “sebuah hubungan yang dekat” dan “komunikasi dua arah” antara para arkeolog dan partisipan merupakan hal yang sangat penting. Dari sudut pandang ini, pendidikan arkeologis tidak berbeda banyak dari pelibatan masa lalu-masa lalu yang berbeda, keduanya memerlukan dan mendorong dialog antara para arkeolog dan anggota-anggota publik.

Meskipun sejauh ini telah dianjurkan bahwa para arkeolog seharusnya melibatkan diri dengan kelompok-kelompok yang berbeda dan interpretas-interpretasi masa lalu yang beragam, juga penting untuk dicatat sebuah persoalan yang sifatnya inheren dalam posisi ini. Ketika berbicara tentang “kelompok-kelompok yang berbeda,” kita cenderung mengasumsikan bahwa tiap kelompok dapat didefinisikan dengan jelas. Namun, pada kenyataannya, definisi seperti itu seringkali menyulitkan. Seperti pendapat Pyburn (Bab 3:31):

Tiap individu merupakan anggota beragam komunitas yang terikat secara cair, dan menegosiasikan loyalitas personal dan mendistribusikan loyalitas personal itu di antara beragam kelompok merupakan salah satu penggambaran kehidupan sehari-hari.
Terdapat dua alasan mengapa mendefiniskan kelompok-kelompok dengan cara yang lebih ketat itu sulit dilakukan: individu-individu memiliki beragam kelompok pada saat yang bersamaan dan tiap kelompok, termasuk yang dominan dan termarginalisasi secara sosial, seringkali terfragmentasi (lihat, contohnya, Franklin, 2001), khususnya ketika dipandang dalam konteks posmodern sekarang ini. Hal ini menyiratkan bahwa “kelompok-kelompok yang berbeda” tersebut, yang padanya para arkeolog publik melibatkan diri, merupakan konsep yang terus berubah, yang harus ditempatkan dan didefinisikan setiap saat agar memungkinkan untuk melakukan beberapa bentuk keterlibatan dengan masyarakat yang sebenarnya, tetapi yang pada kenyataannya tidak pernah tetap dan saling bertalian.

Pertanyaan kritis yang mengikuti hal ini kemudian adalah bukankah penekanan pada keterlibatan dengan “masa lalu-masa lalu berbeda” ini sebenarnya merupakan sebuah permainan différance (membedakan) (Derrida, 1982; lihat juga Hodder 1999: 156), dengan kata lain, sebuah penangguhan tanpa akhir makna masa lalu yang telah tuntas terbentuk. Sejauh pengejaran terhadap pembedaan terus berlanjut, akan selalu ada kelompok-kelompok lain dengan interpretasi-interpretasi lain. Apakah arkeologi publik harus melibatkan diri dengan semua kelompok itu – dapatkah? Penyebaran global arkeologi publik pada akhirnya memunculkan pertanyaan ini, sebagaimana penyebaran globalnya menunjukkan adanya arkeologi-arkeolog yang lain, publik-publik yang lain, dan masa lalu-masa lalu yang lain. Diletakkan secara sederhana, para arkeolog seharusnya melibatkan diri pada masa lalu(-masa lalu) yang mana, dengan dasar apa, dan berpihak pada siapa?
LABEL BANNER ANDA LABEL BANNER ANDA LABEL BANNER ANDA LABEL BANNER ANDA