Gambar Istimewa : Presiden Jokowi & Syeikh Ibrahim Sitompul |
Baik Jokowi maupun Ibrahim Sitompul, kata Albiner, sama-sama pemimpin yang dipilih oleh rakyat, berkarisma, zuhud terhadap kebendaan dunia, dan fokus memikirkan kepentingan nasional.
“Perbedaannya, mereka berada dalam dua masa yang berlainan. Presiden Jokowi pada masa Indonesia merdeka, sedangkan Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,” kata Albiner melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi media ini, Kamis (23/7/2020).
Albiner yang pernah menjabat sebagai kepala Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Kepresidenan, menjelaskan bahwa baik Presiden Jokowi maupun Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul sama-sama menerapkan kebijakan yang mempengaruhi dunia internasional, pada masa yang berbeda. Albiner mengaku pernah merasakan kepemimpinan Presiden Jokowi saat menjabat kepala BPMI Sekretariat Kepresidenan. Dia juga mengamati kebijakan Jokowi sampai saat ini, yang mengutamakan kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
“Presiden Jokowi adalah pribadi yang ramah, sederhana, cerdas, dan berani mengambil kebijakan tegas untuk kepentingan bangsa dan negara. Kepribadian Presiden Jokowi hampir serupa dengan Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul yang adalah seorang sufi,” jelas Albiner.
Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul, kata Albiner lagi, pernah difitnah dan dipenjarakan oleh pemerintah Hindia Belanda ketika dicalonkan sebagai Kepala Nagori Jangjiangkola. Nagori Janjiangkola adalah sebuah wilayah kenegerian otonom di masa lalu yang berada di seputaran daerah Danau Toba, hingga ke bagian selatan dan pesisir barat Sumatra Utara.
Nagori Janjiangkola merupakan kerukunan delapan huta (desa) yang dirancang oleh delapan raja huta. Kedelapan raja huta tersebut adalah Raja Oppu Eret Sitompul (Ayahanda Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul) dari Raja Lobu Handis, Raja Alias Sihombing dari Raja Lobu Balimbing, Raja Hepeng Sihombing dari Raja Janjinauli Angkola, Raja Salomo Sihombing dari Raja Lobu Longat, Raja Pandua dari Raja Sait Nihuta, Raja Simson Sitompul dari Raja Lumban Dolok, Raja Esson Hutapea dari Raja Lobu Sipurik-purik, dan Raja Paet Sarumpaet dari Hutanagodang. Para raja huta ini bergabung dan terikat dalam satu perjanjian Nagori Janjiangkola.
Atas amanah masyarakat dan kehendak Allah SWT, Tuan Syèkh Ibrahim Sitompul tetap terpilih sebagai Kepala Nagori Janjiangkola. Segala serangan fitnah yang dilancarkan penjajah Belanda terhadap sang sufi ini tidak mempan sama sekali. Rakyat kedelapan huta di Nagori Janjiangkola tetap menaruh kepercayaan kepada pemimpin mereka Tuan Syekh Ibrahim Sitompul.
Sebagai Putra Batak, Syèkh Ibrahim memegang teguh dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu adalah filosofi atau wawasan sosial-kultural yang menginpirasi tata hidup dan budaya masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka dasar dala pengembangan struktur kekerabatan yang umumnya didasarkan pada pertalian darah dan hubungan perkawinan yang mempersatukan masyarakat Batak secara keseluruhan.
Presiden Jokowi, menurut Albiner, amat mengagumi budaya dan adat-istiadat Batak yang beragam, tapi tetap harmonis. “Dalihan Na Tolu sebagai salah satu perekat keberagaman dan keharmonisan suku Batak. Saya yakin nilai-nilai luhur budaya Batak sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Saya yakin budaya di sini tidak menyukai ujaran kebencian, caci maki yang sering kita lihat di media sosial. Umpatan, fitnah, saling menjelekkan, saling mencela, itu bukan budaya kita. Saya kadang-kadang berpikir, apakah ini didorong infiltrasi asing yang ingin memecah-belah kita lewat media sosial. Itu bukan budaya dan karakter bangsa kita yang penuh dengan kesantunan dan kesopanan,” jelas Albiner mengutip pidato Presiden Jokowi pada Silatnas JBMI di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada Maret 2017 lalu. (APL/Red)